Sufisika (gabungan dari Sufi dan Fisika, Bahasa Yunani: φυσικός (physikos), "alamiah", dan φύσις (physis), "Alam") adalah ilmu yang mempelajari keserupaan metafora atau pola berpikir atau perenungan antara sufisme dan Fisika Modern.
Apa mungkin mengkaitkan Sufisme dan Fisika Modern? Sufisme atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan tazkiyat al nafs (mensucikan diri), ishlah al qalb (pembersihkan hati) dari akhlak-akhlak tercela, pendekatan diri kepada Tuhan serta kehidupan spiritual lainnya. Sementara Fisika merupakan ilmu modern untuk menerangkan interaksi antara energi dan materi mulai dari partikel-partikel elementer seperti quark, elektron, dan proton sampai benda-benda makroskopis seperti bintang dan galaksi. Fisika berkaitan dengan materi yang tangible (dapat dipegang) atau hal-hal yang dapat diterangkan secara rasional.
Titik kontras yang lain adalah pandangan awam bahwa belajar tasawuf atau menjadi sufi sering disalahartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang agak egoistik. Untuk mencapai tujuan, seorang sufi dipersepsikan musti meninggalkan kehidupan material keduniaan, meninggalkan keramaian, mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan sampai ekstrimnya berhubungan dengan manusia hanya akan menganggu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Sementara untuk belajar Fisika, yang pertama kali dihadapi adalah benda yang ditemui sehari-hari, dan kemudian dilihat sifat dan perilaku material, serta kemudian dilakukan percobaan atau pengamatan di laboratorium atau di lapangan sehingga ditemukan hukum-hukum Fisika yang obyektif, dapat diulang dan konsisten. Hal-hal yang bersifat spiritual atau yang tidak rasional harus ditinggalkan di Fisika. Belajar Fisika dapat dilakukan oleh semua orang pada semua jenjang, namun untuk belajar menjadi sufi seseorang harus melewati suatu maqam-maqam tertentu yang tidak mudah.
Sekilas tampak sekali susah mencari titik temu antara keduanya, perbedaan-perbedaan tersebut terjadi makin jelas antara Fisika klassik (Newtonian) dengan praktek-praktek yang tampak dari luar dari Sufisme. Namun dalam tatanan Fisika modern dan filosofi Sufisme ternyata terjadi banyak kemiripan. Sebagai contoh: bahasa yang digunakan Fisika modern dan Sufisme merupakan bahasa metafora. Hal ini merujuk kepada suatu realitas yang lebih dalam, pada hal-hal yang tidak dapat diterangkan, paradoks dan yang tidak masuk akal. Penjelasan metafora untuk menyatakan misteri yang tersembunyi dari realitas metafisik dan energi-energi di luar pemahaman manusia.
Sebelum masuk lebih jauh pada kaitan sufisme dan Fisika modern, ada baiknya gambaran tentang Fisika klasik kita lihat kembali. Konsep filosofis Fisika klasik adalah analitik, mekanistik dan deterministik. Bahkan cenderung reduksionis untuk mengambarkan alam semesta mengikuti filosofi Descartes dan Bacon. Dalam Fisika Newtonian ini semua fenomena yang ada di semesta dapat diurai secara analitik berdasarkan hukum-hukum Fisika yang pasti. Pada dasarnya apabila kondisi awal suatu keadaan diketahui dan semua medan gaya yang berpengaruh diperhitungankan maka perilaku suatu benda (posisi dan momentum) untuk waktu berikutnya dapat ditentukan. Hukum Fisika ini dapat diterapkan mulai dari hal sederhana seperti benda jatuh bebas sampai perhitungan posisi planet-planet dalam tatasurya. Salah satu contoh yang menakjubkan dari hasil perhitungan Fisika Newtonian ini adalah ramalan tentang waktu gerhana bulan atau matahari sampai dalam orde detik dan ternyata cocok dengan hasil pengamatan.
Tidak dapat disangkal bahwa cara berpikir Fisika klasik ini telah memicu kemajuan teknologi yang dimulai dengan revolusi industri di Eropa. Mesin-mesin dirancang dengan disain yang berdasarkan perhitungan analitik-mekanistik yang pasti. Dan dalam tatanan filosofi, alam semesta merupakan mesin raksasa yang berputar secara terus-menerus dan dapat diprediksi. Disini hal-hal yang berbau mistik seperti peran dewa-dewa, roh nenek moyang, kekuatan supranatural, dan mahluk halus tidak ada lagi dalam hidup manusia. Bahkan Tuhan pun cenderung untuk dinihilkan. Kalaupun Tuhan dianggap ada, maka peran Tuhan sudah sangat direduksi sebagai sekedar pencipta awal, dan kemudian alam “ditinggalkan” untuk berputar sendiri setelah dilengkapi dengan hukum-hukum Fisika.
Kesuksesan Fisika Newtonian ternyata hanya berlaku pada dunia makroskopis, dunia kasat mata dan pada benda yang bergerak dengan kecepatan jauh di bawah kecepatan cahaya. Di awal abad ke dua puluh, Fisika klasik terbukti gagal untuk menjelaskan fenomena mikroskopik pada skala atom. Seolah-olah ada revisi edisi ulang ilmu Fisika, muncullah dua cabang ilmu Fisika Modern yaitu Fisika Kuantum yang dibidani oleh Bohr, Heisenberg, Schrödinger dan lain-lain, dan Teori Relativitas yang diungkapkan Einstein.
Fisika Kuantum mempunyai implikasi yang sangat luas pada perubahan peradaban manusia. Penjelasan tentang atom, molekul dan zat padat telah melahirkan material semikonduktor, laser dan chips mikroskopis yang pada gilirannya menghasilkan akselerasi kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Sementara Teori relativitas Einstein dapat ditarik untuk menerangkan kosmologi tentang asal usul semesta, disini diperoleh gambaran bahwa alam semesta berasal dari suatu titik big bang (dentuman besar) dan berkembang serta berekspansi secara terus menerus.
Implikasi filosofis Fisika Kuantum lebih dahsyat, diantaranya tentang prinsip ketidakpastian Heisenberg dan participating observer (hasil eksperimen selalu tergantung pada pengamat dan suatu realitas tidak akan terjadi sebelum kita benar-benar mengamatinya). Dalam dunia sub-atomik, hukum Fisika tidak lagi merupakan suatu kepastian, tetapi gerak partikel diatur oleh konsep probabilitas. Pandangan terakhir ini yang menyangkut indeterminisme menimbulkan kontroversi yang cukup ramai.
Dalam teori Kuantum setiap keadaan partikel (posisi, momentum, energi dst.) dihubungkan berdasarkan suatu eksperimen. Ketika formulasi telah dirumuskan maka perilaku partikel dapat diprediksi. Schrödinger menunjukkan bahwa perilaku partikel dapat ditunjukkan oleh sebuah persamaan matematis gelombang. Namun persamaan ini tidak memberi informasi apa-pun tentang keadaan partikel sebelum suatu eksperimen benar-benar dilakukan, dengan perkataan lain persamaan tersebut meramalkan dua hasil kemungkinan secara sepadan. Dalam percobaan celah ganda, tampak bahwa hasil pengamatan tergantung kepada cara eksperimen dilakukan. Partikel tersebut tidak punya sifat “asli”.
Oleh para Fisikawan konsekuensi indeterminisme ini biasanya dilukiskan secara dramatis dalam sebuah “eksperimen” yang dikenal dengan kucing Schrodinger (Dewitt, 1970). Kucing ini bisa dalam dua keadaan skizofrenik sekaligus yaitu hidup dan mati. Tentu saja semua ini merupakan bahasa metafora dari ketidakmampuan fisikawan untuk menerangkan keadaan “yang sesungguhnya” terjadi. Namun hal tersebut seperti keadaan partikel yang bisa sekaligus gelombang merupakan konsekuensi pengembangan teori Kuantum.
Albert Einstein sendiri sangat tidak nyaman dengan konsekuensi terakhir ini. Meskipun pada masa mudanya Einstein turut serta dalam membangun teori Kuantum (pada kasus efek fotolistrik) namun Einstein tua justru merupakan seorang penentang konsekuensi filosofis teori Kuantum, sampai-sampai dia berucap “Tuhan tidak bermain dadu”. Dalam debat melawan Bohr dan kawan-kawan, argumentasi Einstein tentang determinisme selalu dapat dipatahkan. Sehingga sampai saat ini teori Kuantum yang meskipun “agak edan” tetapi terbukti merupakan teori yang dapat menerangkan dunia mikroskopis dan mempunyai manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh tentang konsep participating observer, pola hasil yang akan diperoleh dalam suatu eksperimen sangat ditentukan oleh pengamat atau dengan perkataan pengamat menentukan hasil. Ini bukan penelitian sosial tetapi penelitian tentang materi sub-atomik. Lebih jauh lagi sesuatu benda mikro tidak punya makna apa-apa sebelum benar-benar diamati. Oleh karena itu diperlukan suatu mahluk yang memiliki kesadaran (consciousness) untuk menjadikan sesuatu benda menjadi “real”. Tanpa pengamat, maka semesta ini tidak akan ada.
Disini mulai jelas titik singgung antara Fisika modern dengan sufisme atau mistisisme Timur lainnya. Kita dapat lihat dari salah satu potongan syair Rumi:
"Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai".
Juga kita dapat lihat pendapat Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam:
"Kosmos berdiri diantara alam dan al Haqq, dan antara wujud dan non eksisteni. Ia bukan murni wujud dan bukan murni non-eksistensi. Maka dari itu kosmos sepenuhnya tipuan, dan kalian membayangkan bahwa ini al Haqq, namun sebetulnya bukan al Haqq. Dan kalian membayangkan bahwa ini makhluk, namun ini bukan makhluk". Bahasa Rumi “Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak” atau ungkapan Ibnu Arabi tersebut sangat memiliki kemiripan dengan Mekanika Kuantum yang juga mengungkapkan tentang “hidup yang juga mati, mati yang juga hidup”. Jelas sekali bahasa metafora yang digunakan disini.
Selanjutnya dalam kerangka teori relativitas juga dimungkinkan dibuat suatu kerucut ruang-waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam hal ini –secara matematik– ada bagian yang berada di luar kerucut ruang waktu ini, sehingga dapat dikatakan di luar dunia fisik ini yang kita tempati ini masih ada kemungkinan “dunia lain”. Hal ini juga didukung oleh teori Kuantum yang menawarkan many worlds interpretation atau interpretasi banyak dunia yang diungkapkan oleh Everett pada tahun 1957. Artinya alam semesta yang kita tempati ini bukan satu-satunya. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Rumi tentang hati yang bisa menuju ke “Pintu-pintu ke dunia lain.”
Rumi menulis dalam puisi yang lain “Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.” Meskipun puisi ini sedikit menunjukkan nada yang agak sombong dari Sang Sufi, namun jelas menunjukkan adanya keserupaan dengan konsep relativitas pada Fisika modern.
Para ahli astrofisika modern telah menghitung bahwa setidaknya ada 15 trilyun galaksi sejak permulaan penciptaan —big bang— dan galaksi-galaksi tersebut dalam kosmos mengikuti suatu siklus seperti yang dijelaskan oleh sufi yaitu kelahiran, pertumbuhan, kematian dan pembangkitan kembali. Bintang-bintang, seperti manusia, tidak pernah sebenarnya mati, namun beberapa bahan dasar seperti besi, karbon, oksigen dan nitrogen secara terus-menerus didaur-ulang dalam ruang sebagai debu kosmis, bintang baru, tanaman dan kehidupan. Semua dalam alam semesta yang berekspansi terdiri dari energi, dan energi secara sederhana berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain untuk selanjutnya naik menuju (cosmic ascent) kepada Allah.
Pencarian padanan antara sufisme dan Fisika modern dapat terus dilakukan terutama dalam masalah yang berkaitan dengan semesta lain, dunia ghoib, pengkerutan waktu, ketidakpastian, “hidup tetapi mati”, kesadaran dapat mempengaruhi materi, “ada tetapi tidak ada”, siklus kehidupan dan asal usul semesta.Beberapa hal dapat dengan mudah dapat dicerna, namun lebih banyak lagi yang merupakan bahasa metafora karena susahnya menuliskan realitas yang sesungguhnya. Mungkinkah kesulitan ini karena keterbatasan bahasa manusia atau keterbatasan kemampuan logis manusia? Atau semua ini merupakan harta tersembunyi sebagaimana yang diungkapkan oleh sebuah hadist qudsi: Allah telah berkata “Aku adalah harta tersembunyi yang perlu disingkap, Aku ciptakan semesta sehingga Aku dapat diketahui”
Kita biarkan pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang tidak terjawab, namun mengikuti “semangat teori Kuantum” yang maju terus memberikan kontribusi penting pada peradaban manusia meskipun telah meninggalkan Einstein dalam kegelisahan interpretasi. Adakah sekarang manfaat praktis yang dapat ditarik dari mengkaitkan sufisme dan Fisika modern?
Sudah saatnya para fisikawan mempelajari istilah yang sudah biasa di Fisika namun merujuk pada entitas yang berbeda dalam sufisme, yaitu energi. Di Fisika, istilah energi menunjukkan suatu besaran yang sangat real, sementara di sufisme istilah ini lebih abstrak. Para ahli sufi sebenarnya meminjam istilah ini karena ada keserupaan, meskipun pada dasarnya berbeda. Sudah beratus-ratus tahun terbukti secara empiris bahwa para ahli sufi mampu menggunakan suatu jenis energi metafisik yang berasal dari Yang Maha Kuasa untuk berbagai keperluan seperti penyembuhan sakit fisik dan non fisik. Para ahli sufi sendiri sebenarnya tidak mengerti bagaimana proses penyembuhan ini terjadi kecuali dengan sepenuhnya melakukan kepasrahan kepada Allah SWT. Disini fisikawan dapat melakukan penjelasan hal ini karena memang dimungkinkan dalam teori Kuantum bahwa kesadaran dapat mempengaruhi materi (mind over matter).
Hal ini hanya merupakan salah satu contoh manfaat real untuk kemanusiaan. Akan muncul sekali banyak manfaat bila dilakukan eksplorasi secara seksama hubungan antara sufisme dan Fisika modern.
(Muhammad Hikam)
Read More...