Oleh : Muhammad Luthfi Ghozali
مَنْ اَكْرَمَكَ اِنَّمَا اَكْرَمِ فِيْكَ جَمِيْلَ سِتْرِهِ , فَالْحَمْدُ لِمَنْ سَتَرَكَ لَيْسَ الحَمْدُ لِمَنْ اَكْرَمَكَ وَشَكَرَكَ.
Orang yang memuliakanmu sesungguhnya hanyalah memuliakan keindahan penutup Allah yang ada pada dirimu, maka segala pujian hanyalah kepada Dzat Yang Menutupimu, bukanlah pujian itu ditujukan kepada orang yang memuliakan dan menerimamu.(Hikam Ibnu Atho’illah)
Setiap yang mulia mesti dipuji dan setiap yang hina terkadang dicela. Itulah sifat manusia. Namun ketika dipuji, itu bukan sebab manusia menjadi mulia, tetapi sifat kemuliaan Dzat yang Maha mulia menutup sifat yang hina. Itulah sifat khususiyah. Dengan sifat khususiyah itu, sifat basyariyah yang semestinya hina menjadi tampak mulia.
Ketika sifat basyariyah yang semestinya hina menjadi mulia, itu semata karena dibungkus sifat khususiyah yang azaliyah. Dengan sifat khususiyah maka manusia pantas dimuliakan sesama manusia. Namun yang dimuliakan itu sejatinya bukan sifat manusia secara basyariyah melainkan keindahan sifat khususiyah yang menutupi sifat basyariyah. Itulah keadaan orang-orang yang bertakwa. Mereka mulia dan dimuliakan orang karena batinnya mulia. Hal itu disebabkan, karena hati mereka telah disinari sifat kemuliaan yang memancar dari kemuliaan Tuhan Semesta Alam.
Yang dimaksud hati bukan gumpalan daging yang ada di dalam lambung manusia. Gumpalan itu hanyalah hamparan dimana hati sanubari yang batin bertahta. Jasad-jasad kasar yang hina sebagai rumah tempat tinggal “ruh kehidupan” akan menjadi mulia, namun itu apabila ruh kehidupan dipancari “Nur kemuliaan” dari Dzat Yang Maha Mulia. Seperti kegelapan malam ketika sirna dan ufuk bumi menjadi terang benderang, itu bukan karena bumi memancarkan cahaya, tetapi matahari sedang menampakkan senyuman. Kalau ada kemuliaan di atas kehinaan, sesungguhnya itu bukan milik yang kasar lagi hina, tetapi sekedar penutup dari Yang Maha Mulia.
Ketika orang memuliakanmu karena engkau memang pantas dimuliakan, ketika orang menghormatimu karena engkau memang terhormat, itu sejatinya bukan karena orang itu menghormatimu akan tetapi menghormati penutup keindahan yang menutupi dirimu. Maka hanya kepada Allah, segala pujian pantas dikembalikan.
Oleh karena pujian adalah pakaian kebesaran-Nya, maka hanya Yang Maha Besar yang pantas memakainya. Mohonlah perlindungan kepada Allah dari kebesaran yang bukan milikmu. Jika tidak, maka engkau akan tertindih oleh kebesaran itu sehingga dirimu menjadi hina sebab pujian itu.
Padahal setiap jiwa senang dipuji, apalagi memang ia pantas dihormati. Akan tetapi hati yang ringkih tidak selamanya tahan dipuji, bahkan ia menjadi lebih kuat ketika sedang diuji. Apabila pujian sedang datang menguji, maka kembalikanlah pujian itu kepada yang sedang menguji, dengan itu engkau menjadi kuat baik sedang di puji maupun diuji.
Memang manusia merupakan makhluk yang mengherankan, ketika ujian sedang datang menghantam terkadang kehinaan menjadikan jiwanya semakin matang. Namun ketika giliran pujian orang sedang berdatangan, maka kehormatan semu yang terkadang hanya kamulflase dan bahkan bentuk kemunafikan menjadikan hatinya sempat mabuk kepayang. Selanjutnya kesombongan kosong menjadikan sebab kehancuran.
Adakalanya ketika manusia sedang terhimpit dan mengharapkan pertolongan, saat itu mereka justru mampu menjalankan peran. Bersabar meski di dalam kekurangan, bahkan menjalani kehinaan walau di dalam keterpaksaan, sehingga mereka mendapatkan kemanfaatan, karena berhasil mendapat simpatik orang. Namun anehnya ketika manusia sedang mampu memberi pertolongan. Sehingga mereka pantas mendapat penghormatan. Kemuliaan semu dan bahkan hanya kemunafikan dari orang-orang yang mencari perhatian, menjadikan kesombongan mampu menggantikan kedudukan kemuliaan. Itu karena manusia telah merasa berjasa. Merasa bangga karena hanya kepada dirinya orang membutuhkan pertolongan.
Bagi orang beriman, cacian dan pujian sejatinya sama-sama ujian. Dengan cacian berarti mendapat tusukan dari luar badan, dengan pujian mendapat tusukan dalam perasaan. Oleh karena tusukan dari dalam itu mengenakkan, maka jarang orang dapat bertahan dalam pujian orang. Sehingga pujian malah menjadi penyebab kehancuran. Karena dengan pujian hati yang ringkih menjadi terlena, disebabkan karena setiap yang mengenakkan pasti melalaikan.
Read More...