Oleh : Muhammad Luthfi Ghozali
رُبَّمَا اسْتَحْيَا الْعَارِفُ اَنْ يَرْفَعَ حَاجَتَهُ اِلَى مَوْلَاه لِإِكْتِفَائِهِ بِمَشِيْئَتِهِ فَكَيْفَ لَا يَسْتَحْيِى أَن يَرْفَعَ اِلَى خَلِيْقَتِهِ
Terkadang orang yang ma’rifat malu mengangkat hajad kepada Tuhannya, hal itu karena mereka merasa cukup terhadap kehendak-Nya. Maka bagaimana mereka tidak malu mengangkat hajad kepada makhluk-Nya (Hikam Ibnu Atho’illah Assakandari).
Orang yang ma’rifat kepada Allah adalah orang yang kenal kepadaNya. Mereka adalah orang yang kenal sunnatullah. Kenal dengan sistem dan tatacara kehidupan yang dibangun oleh Allah di alam semesta ini. Dengan pengenalan itu menjadikan hidup mereka terjaga dari perbuatan salah, baik dalam menyikapi, menyangka, mendiagnosa maupun menjalani kehidupan di dunia. Termasuk dalam pengenalan itu, mereka juga mengenal bahwa kehidupan akhirat lebih baik baginya daripada kehidupan dunia. Itu sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”(QSAdh-Dhuhaa(93)4). Dengan pengenalan yang demikian itu, maka tidak akan pernah terjadi kehidupan akhirat ditukar dengan kehidupan dunia.
Mereka mampu berbuat sabar dalam susah dan musibah, karena mereka yakin bahwa dengan itu akan mendapatkan senang (surga). Mereka mampu mengendalikan diri dalam senang dan anugerah. Mereka tidak menjadi sombong dengan kelebihan dunia, karena mereka yakin dibalik senang dan anugerah itu sesungguhnya susah dan musibah sudah mempersiapkan diri menunggu giliran. Itu diyakini karena putaran susah dan senang itu adalah bagian sunnah yang sudah ditetapkan Allah dalam kehidupan. Bagi mereka susah berarti menanam sedangkan senang berarti menuai. Apabila hidup hanya senang saja tanpa susah, berarti mereka hanya menuai saja dan tidak menanam lagi, selanjutnya selamanya mereka akan susah (neraka).
Oleh karena itu, terkadang hati mereka lebih merasa damai di dalam susah, bahkan mampu dijalani seumur hidup, karena dengan itu berarti di akhirat nanti tinggal senangnya saja. Dalam kondisi seperti itu dia merasa malu melahirkan hajatnya kepada Allah. Dia merasa cukup dengan apa-apa yang sudah ditentukan Allah bagi dirinya. Kalau sudah demikian, bagaimana dia tidak malu mengharapkan pemberian dari makhluk…?
Orang yang kenal Allah itu mampu mencukupkan diri dengan apa-apa yang sudah ditetapkan Allah bagi dirinya. Dalam keadaan yang bagaimanapun, meski sedang menghadapi kematian misalnya, ketika saat itu dia ingat Allah hatinya menjadi senang. Dia sadar bahwa kehidupan di dunia ini tempatnya amal, saatnya berjuang dan mengabdi, sedangkan di akhirat nanti akan dipertemukan dengan apa-apa yang sudah diusahakan itu. Oleh karena itu, yang dibutuhkan di dunia itu hanyalah sarana untuk amal, sarana untuk mengabdi dengan pengabdian yang seutuhnya. Dengan sarana amal itu bagaimana dia mampu mengabdi untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
Orang yang kenal Allah adalah orang yang kenal bahwa Allah adalah Tuhannya, tiada Tuhan selainNya, Allah yang menciptakannya. Dirinya hanyalah sekedar hambaNya. Sebagai seorang hamba yang diciptakan, dia kenal bahwa dirinya hanya mempunyai kuwajiban, yakni mengabdi, bahkan hanya untuk itu dia diciptakan. Dia kenal, bahwa sebelum dihidupkan di dunia dia telah menyepakati komitmen(kesepakatan) bahwa Allah adalah pemeliharanya, Allah adalah pelatihnya, Allah adalah yang mentarbiyah dirinya, maka dengan sekehendakNya Allah bisa berbuat apa saja kepada dirinya.
Orang yang kenal Allah adalah orang yang kenal bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih. KebaikanNya sudah terdahulu, mendahului setiap kebaikan yang ada. Kebaikan itu bukan sebab kebaikan hambaNya dan bahkan sebelum hambaNya mampu berbuat apa-apa, maka orang yang kenal Allah itu kenal akan kenikmatan-kenikmatan yang telah dianugerah¬kan Allah kepada dirinya. Sebagai seorang hamba yang diciptakan, orang yang kenal Allah itu mengenal akan kelemahan dan keterbatasan dirinya sendiri, termasuk juga kenal dosa-dosanya. Oleh karena itu, orang yang kenal Allah itu adalah orang yang selalu bertaubat kepadaNya. Itu dilakukan, karena dia juga kenal bahwa tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Allah.
Ketika seorang hamba yang dho’if itu kenal bahwa Ma’budnya adalah Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Kaya, Tuhannya mampu berbuat apa saja hanya dengan menurunkan titah(Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia(QS.Yaasin(36)82), maka hatinya menjadi damai. Dia tidak risau lagi untuk menghadapi tantangan hidup yang menghadang. Dia tidak kuatir jatuh miskin dan tidak bisa makan. Tantangan hidup itu hanya dihadapi dengan pengabdian. Dia cukup mengabdi kepadaNya, meski pengabdian itu harus diaktualisasikan dengan pengabdian kepada sesama manusia. Hanya itu kuwajiban yang harus ditunaikan, asal dia sudah melaksanakan pengabdian dengan semampunya, maka dia yakin segala kebutuhan hidupnya akan dicukupi.
Sementara itu ada orang mengatakan, dia butuh sarana untuk sebuah pengabdian. Sarana ibadah itu dicari dan diusahakan dengan mati-matian. Siang dengan bekerja sepanjang hari, malam dengan beribadah sepanjang malam, namun tanpa sadar bahwa sejatinya yang diutamakan dalam ikhtiar itu adalah pencarian sarana ibadah, bukan bagaimana dengan sarana ibadah yang diusahakan itu dia dapat beribadah kepada Allah dengan sempurna.
Untuk memenuhi keinginannya itu, terkadang orang tersebut harus bersusah-susah datang ke majlis. Mengikuti seorang tokoh mujahadah yang terkenal do’anya selalu mendapat ijabah sehingga tokoh itu diikuti banyak orang. Bahkan mengikuti komunitas thoriqoh yang dipimpin seorang guru mursyid yang mulia. Di dalam majlis dzikir itu dia bersungguh-sungguh berdzikir kepada Allah. Tujuannya supaya dia mendapatkan rahmat dariNya. Mendapatkan peningkatan kehidupan ekonomi sehingga hidupnya menjadi mulia dan terhormat di tengah masyarakat. Hutang-hutang yang macet sekian lama supaya segera mendapat¬kan jalan keluar untuk membayar.
Apabila tujuan dzikir dan mujahadah itu hanya untuk meningkatkan tarap hidup di dunia saja, meski bagian dunia yang diminta itu nantinya akan dijadikan sarana ibadah, orang yang demikian itu berarti bukan ma’rifat kepada Allah meski dia termasuk orang yang ma’rifat kepada rahmatNya. Dia mencari rahmat Allah tapi dengan melupakan hak Allah. Akibatnya, apabila rahmat itu sudah didapat, maka dzikir dan Allah akan begitu saja segera ditinggalkan. Itu bisa terjadi, karena dzikir dan Allah itu sejatinya hanya dijadikan alat untuk memenuhi kehendak nafsunya sendiri.
Yang lebih parah dari itu, apabila ternyata yang dituju dalam berdzikir itu tidak juga kunjung tercapai. Peningkatan hidup yang diharapkan tidak segera terwujud. Hutang yang bertumpuk-tumpuk tidak juga segera terbayar. Ketika hatinya sudah dihinggapi rasa putus asa, karena dzikir dan mujahadah yang selama ini ditekuni dianggapnya tidak juga menghasilkan buah, majlis dzikir itu dianggap tidak mampu memenuhi harapan hatinya, maka majlis dzikir dan dzikirnya dicemooh dan dicela. Dia segera meninggalkan komunitas dzikir yang lama dan mencari komunitas dzikir baru yang lebih ampuh lagi. Namun ironisnya di komunitas yang baru itu dia menjelek-jelekkan majlis dzikir yang lama. Itu hanyalah sebagian dari fenomena yang ada, romantika kehidupan manusia memang selalu unik dan mempesona.